Rabu, 18 Agustus 2010

Mas San

Suara pintu dibuka dengan keras cukup membuatku kaget. Yach.... siapa lagi kalau bukan Mas San. Hanya aku dan dia penghuni rumah ini. Rumah dinas dengan tiga kamar kecil-kecil plus satu kamar istimewa sebagai ruang tamu.
Itulah salah satu kebiasaan barunya bila hati sedang gusar selalu ada-ada saja yang jadi sasaran. Segala tindakannya akan jadi keras, dari membuka pintu, menyimpan sepatu, meletakkan tas buku-buku kerjanya, orang berjalan di depan rumahpun akan tahu apa yang sedang dilakukannya. Kecuali orang yang tuli tentunya... ha.. ha.. Seperti apa suara sepatu disorongkan keras-keras? Atau suara tas penuh buku yang dilempar begitu saja ke kursi tamu?
Kita-kita ini sebenarnya memang manusia-manusia yang aneh. Seperti kalau kita makan kacang, selalu yang tua dan berisi yang kita ambil lebih dulu, baru nanti yang muda dan kempot-kempot itu dapat giliran belakangan. Kita perlu variasi dalam hidup agar tidak monoton. Kadang kita makan yang manis tapi tak jarang kita ingin makan yang pahit dan terasa tak enak, tapi kita tetap bisa menikmatinya. Betul begitu kan? Kenapa kita ingin minum jamu yang pahit rasanya, padahal di hadapan kita dihidangkan madu yang lezat?
Inilah yang kualami sekarang, variasi hidup, lelah bercumbu lalu tanpa tahu sebabnya telah datang masalah baru. Perlahan-lahan aku bangkit dari tiduran, menyongsong Mas San yang pulang dengan nada gusar (kelihatannya sih..!) kusunggingkan senyum manis untuknya, walau aku agak terpaksa melakukannya. Dengan tingkahnya yang demikian itu telah membangkitkan pening dan mual yang berlebihan bagiku.
”Sudah pulang Mas?” tanyaku, lalu tanpa malu-malu (karena dalam ruangan hanya ada aku dan dia ) kudaratkan ciuman di pipinya, (aku sebenarnya marah juga karena Mas San tak menjawab pertanyaanku).
”Lelah...?” lanjutku.
Kubantu dia membuka kancing kemejanya dan menggantinya dengan kaus rumah yang nyaman. Masih juga Mas San tak bereaksi, sementara wajahnya tampak gusar. Kugandeng dia ke meja makan. Nasi yang sudah kusiapkan sejak tadi sudah dingin layaknya, perutku sendiri mestinya minta segera diisi. Namun untuk mendahului makan rasanya tak pantas. (Aku ingin disebut istri yang baik lho.)
“Rokokku...!” baru Mas San mau buka suara, itupun sudah melegakan hatiku.
“Nggak makan dulu...?” tanyaku sambil menyorongkan rokok.
Mas San tak menyahut, dia langsung mengambil sebatang dan menyulutnya. Eeee... apa aku ini dianggap robot yang tak perlu didengar kata-katanya sehingga setiap kata-kataku tak butuh jawaban? Diam, membisu. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Tak ada kata yang terlontar, lalu masing-masing merenungi diri. Dan rasa lapar yang kutahan sejak tadipun sirna begitu saja. Tak ada lagi gairah. Lalu pening dan mual itupun tak tertahankan lagi. Rokok di tangan Mas San hanya tinggal setengah.
”Makan Mas...?” kembali aku menawarinya makan.
Mas San mengangguk. Aku membuka piring yang ada di hadapannya, kusendok nasi dan lauk kesukaannya, kusorongkan padanya.
”Kau...?” tanyanya padaku.
Hilang sudah seleraku, kataku dalam hati. Namun yang kuhadirkan adalah sebuah senyum sambil memandanginya.
”Mas sajalah...!” kataku.
”Nanti kau tambah lemah lagi, makan ya... temani aku ?”
Ditelitinya wajahku lekat-lekat, aku menunduk tak berani melawan pandangannya yang tajam.
”Aku mual sekali...!” sahutku.
”Pening...?” wajahnya menunjukkan kecemasan.
Aku hanya mengangguk, karena tiba-tiba jadi lemah sekali. Mataku berkunang-kunang, aku memejamkan mata. Tiba-tiba kurasa Mas San sudah mengangkatku.
”Kau jadi tambah lemah saja Yang, nanti kita ke dokter ya?” katanya meminta.
Ditidurkannya aku baik-baik, diselimuti lalu dia ikut tiduran di sampingku sambil memijit-mijit tubuhku.
”Makanmu Mas...” aku ingat makanan yang dia tinggalkan.
”Aku tak begitu lapar koq. Sudah sejak tadi peningnya...?”
”Nggak. Tiba-tiba saja pening lagi.”
”Kau tak mau makan sih... , jadi.... atau kau mau makan apa ?”
”Tak ada seleraku.” aku memang kehilangan selera makan.
”Masih lelah Mas ?”
”Tidak. Aku segar bugar. Ada apa Yang...?”
”Sungguh...?” tanyaku meyakinkan.
”Ya..., kenapa... ingin sesuatu...?” tanyanya sambil melempar senyum penuh arti.
”Nggak ah. Capek. Ada problem baru Mas?”
”Problem apa?” suaranya penuh tanda tanya.
”Ah... aku hanya mengira-ira saja. Tadi Mas pulang dengan nada gusar, aku jadi kaget.” kataku berterus terang.
”Oh... maafkan aku Yang. Sudahlah jangan terlalu banyak dipikir, atau itu yang membuatmu mual...?” nada suaranya penuh sesal.
”Mungkin... atau ini merupakan hal yang aneh...?”
”Aku tak tahu hal itu. Atau mungkin dia Yang, yang marah tahu bapaknya gusar?” kata Mas San sambil mengelus perutku yang semakin membuncit.
Ah... mestikah aku marah pada laki-laki yang demikian baik, penuh perhatian dan sayang. Walau kadang tak bisa kumengerti maksud tindakannya. Atau memang akukah yang terlalu banyak menuntut? Dalam pelukannya, aku merasa aman, damai dan tenang, kemudian akan lekas terlena. Tapi bila dia mulai dengan sikapnya yang kasar dan temperamental kadang aku menyesalinya. Bingung apa yang harus kulakukan untuk dapat melunakkan hatinya yang demikian keras. Di satu sisi dia baik, lembut, romantis namun di sisi yang lain dia bisa tunjukkan kekerasan hatinya yang seperi baja. Tanpa basa-basi, tanpa penawaran. Bila sudah muka seram yang dia tunjukkan maka dia akan dapat menunjukkannya dalam beberapa hari tanpa aku tahu bagaimana harus membuatnya tertawa kembali. Dia memang jarang mengeluh dia selalu berusaha apa yang menjadi masalahnya akan ditanggungkannya sendiri tanpa melibatkan diriku. Dengan alasan bahwa dia tak ingin membebaniku dengan masalahnya.
Suara adzan Ashar membangunkanku dari tidur siang yang nyaman. Kulihat ke samping, Mas San masih nyenyak tidur memeluk guling kesayangannya. Ada hal yang tak biasa yang kulihat dalam gurat wajahnya, seperti menyimpan beban yang teramat berat. Wajahnya gundah menyimpan masalah, kelihatannya letih sekali. Ada secercah rasa ibu bila melihatnya dalam keadaan demikian. Namun aku sendiri tak tahu apa yang harus kulakukan. Sebab biasanya Mas San akan marah bila aku menyinggungnya sedikit saja. Kurenungi wajah Mas San yang sendu. Ada hasrat ingin memeluknya namun kuurungkan, aku tak ingin mengusik tidurnya, hanya dengan punggung tangan kuusap keringat yang meleleh di pipinya. Sekali, dua kali, tak ada reaksi, kutempelkan saja saja jemariku di pipinya, sambil kucoba kembali pejamkan mata menuruti rasa malasku. Belum lagi aku terlena jemariku dipegang dan dikecupnya, aku agak kaget mengetahui dia sudah bangun.
”Ada apa Yang..., tidur sajalah... biar aku yang siapkan makan malam kalau kau masih malas... heeemmm...?” katanya sambil mengusap-usap rambutku, sementara mataku masih tetap terpejam.
Kugeser tubuhku agar makin dekat dengannya, agar aku bisa memeluknya, tanpa menjawap perkataannya sepatahpun. Kuselusupkan kepalaku ke dadanya, mendengar degub jantungnya timbulkan rasa tenang.
”Masih terasa pening dan mualnya...?” kembali dia mengusikku dengan pertanyaannya. Aku hanya menggelengkan kepala.
Lalu hening. Tak seorangpun diantara kami yang mengeluarkan suara.kurasakan detak jantung Mas San yang keras berirama. Kembali ingatanku pada kegelisahannya sehari ini. Berbagai tanya hadir dalam hati, ada apa gerangan? Hal yang pentingkah yang membuatnya berlaku seperti ini? Atau karena aku tak sempat membukakan ini untuknya ketika dia datang? Bila demikian mengapa dia bersikap sebaik ini padaku? Padahal biasanya bila dia marah maka dia bisa bertahan sampai beberapa hari untuk puasa bicara dan aku akan menanti sampai dia ingin membuka kembali komunikasi antara kami.
Soga Des 2004