Senin, 27 September 2010

Tuhan, Aku Ingin Mengaku Dosa


Tuhan, aku ingin mengaku dosa. Jujur Tuhan, aku telah mendua hati. Namun itu kulakukan tanpa kusadari. Pada awalnya aku tak pernah berprasangka apapun. Baru saat ini, saat ada sosok lain dihatinya, aku menyadari bahwa ternyata aku sangat mencintainya. Apakah aku bersalah Tuhan? Apakah aku berdosa bila menikmati karunia yang engkau berikan ini? Tuhan, bukankah cinta adalah sebuah karunia? Karunia yang kau berikan pada setiap insan tanpa memandang derajad atau pangkat? Karunia yang Kau berikan pada setiap insan?
Tuhan, di saat kurasakan hembusan nafasnya. Aku selalu merasakan nikmat yang luar biasa. Hembusan nafas itu telah mampu membuatku bangkit dari tidur yang teramat panjang. Hembusan nafas itulah yang telah memompakan darah untuk mengalir ke seluruh tubuhku. Hingga terasa sampai keujung-ujung jemari, sampi ke pucuk-pucuk rambut. Merayap-rayap, menyelusup-selusup di seluruh pori. Hembusan nafasnya yang telah membuatku kembali hidup. Walau aku tahu Tuhan, hidup dan matiku, semua ada di tangan-Mu.

Sebuah kesalahankah Tuhan? Bila aku merasakan denyar-denyar yang berbeda saat berada di dekatnya? Apakah yang kurasakan itu hanya sekedar illusi belaka? Namun denyar-denyar itu telah membuatku menjadi lebih dinamis, Tuhan. Telah mampu nyanyikan melodi-melodi cinta dalam hatiku. Hadirkan sebuah keindahan tiada tara.

Tuhan, haruskah semua ini aku hindarkan? Aku terlanjur mencintainya Tuhan. Mencintai dengan segenap hatiku yang paling dalam. Namun aku tak mampu melangkah, kakiku timpang. Karena satu kakiku telah terikat erat, pada sebuah pokok jati yang kokoh dan kuat. Aku tak mungkin mencintainya hanya dengan hatiku. Aku ingin tunjukkan padanya, kalau cintaku, adalah cinta manusia dewasa. Cinta yang penuh tanggung jawab dan pengorbanan.

Pengorbanan apalagi yang harus kuberikan ya Tuhan? Setelah sekian banyak pengorbanan yang kuberikan? Aku tak ingin bersombong diri, tapi itulah kenyataannya. Tuhan, masih pantaskan aku menerima cintanya? Cinta yang telah dipersandingkan? Cinta yang tak lagi kutahu ujudnya bila ada di tangannya? Karena kini, aku tak tahu lagi warna hatinya untukku. Semua jadi samar, Tuhan. Semua warna seperti tak ada bedanya, tak ada artinya, tak ada rasanya. Aku jadi merasa semakin sunyi.

Sunyi. Kesunyian yang telah kurasa beberapa saat terakhir ini. Sunyi karena tak ada lagi gelak tawa. Tak ada lagi dering kata manja. Aku rindu semua itu, Tuhan. Aku rindu sapaannya. Aku rindu gelak tawanya. Aku rindu.

Kini tak ada lagi kata-kata, bila aku tak memulainya. Kalaupun ada, semua terasa kering. Tanpa nyawa. Tanpa rasa. Tuhan, apakah hatinya telah membeku?

Apakah aku tak tahu diri, Tuhan? Bila kukatakan semua itu? Aku menyadari. Tuhan, siapakah diriku. Dimanakah tempatku. Namun, Tuhan. Hatiku tak bisa diajak kompromi. Aku hanya tahu, Tuhan. Tempatku telah tergeser, walau hanya teringsut sedikit? Aku kecewa. Aku kecewa, Tuhan.

Benarkah itu sebuah cinta, bila harus timbulkan gundah gulana? Apakah itu sebuah cinta bila telah mampu membandingkan?
Aku merasa apapun yang dilakukannya untukku kini, bukan lagi karena cinta. Karena dia tak lagi menggebu-gebu. Hanya sekedar formalitas belaka. Hanya sekedar untuk menyenangkan hatiku. Karena dia tak ingin menyakiti hatiku. Dia selalu mengatakan lebih baik disakiti daripada menyakiti.

Aku sedang dibakar cemburu ya Tuhan. Cemburu yang telah membuatku kehilangan segalanya. Cemburu yang telah membuatku tak mampu. Aku jadi hilang akal ya Tuhan. Bagaimana aku harus mengatasi semua ini? Aku tak pernah berpikir sebelumnya bahwa aku akan dilanda cemburu yang sedemikian hebat. Salahkah aku ya Tuhan, bila aku dilanda cemburu berkepanjangan? Bagaimana aku harus mematahkannya? Tuhan, bila aku boleh memohon, enyahkan cemburu dari sisiku. Jangan biarkan dia merenggut masa depanku. Jangan biarkan dia mencengkeram hari-hariku. Aku tak mampu ya Tuhan, untuk menanggungkan semuanya.
Apakah aku bersalah kalau aku cemburu ya Tuhan? Tapi itulah yang terjadi. Apa dayaku? Aku sudah mencoba untuk mengatasi semua ini. Namun rasa cintaku padanya telah membuatku menjadi orang yang egois. Aku tak bisa berbagi ya Tuhan. Berbagi dalam hal apapun, apalagi membagi cinta. Sungguh Tuhan, aku tak mampu menanggungkannya. Betapa aku hanya ingin memilikinya untuk diriku sendiri. Hanya aku sendiri, bukan dengan orang lain. Aku egois ya Tuhan? Apakah aku tak boleh egois Tuhan? Aku tahu Tuhan, sebagai insan aku harus bisa berbagi dengan orang lain. Tapi maafkan aku Tuhan, kali ini aku tak dapat melakukannya, semua kulakukan justru karena rasa cintaku padanya yang amat sangat. Aku ingin cintanya hanya untukku. Apakah ini sebuah kesalahan ya Tuhan?

Tuhan, masih adakah kesempatan? Masih adakah kesempatan untuk meraihnya kembali dalam dekapanku sendiri? Tanpa campur tangan orang lain? Aku menyadari Tuhan, aku sering lalai memanfaatkan kesempatan. Aku tahu sebuah kesempatan tak akan pernah terulang kembali. Tapi bukankah aku tak pernah mengabaikan kesempatan itu? Mengapa seseorang harus datang untuk berusaha mencuri hatinya? Jangan biarkan ya Tuhan? Jangan biarkan dia menjadi pencuri. Berikan kesempatan itu kembali padaku.

Aku tak ingin dia berbagi. Aku ingin dia hanya menjadi milikku. Apakah ini sebuah keserakahan, Tuhan? Aku tahu, Tuhan. Sebagai insan aku tak boleh serakah. Apakah sebuah kesalahan bila aku mengharapkan dia hanya menjadi milikku semata? Aku tak mau ada sosok lain yang ikut menjadi pemiliknya. Aku mau dia hanya milikku. Milikku seorang. Miliiikkuuuuu....

Tuhan.... sering kusesali... mengapa saat dia memmintaku untuk menghadap penghulu... aku selalu mengabaikannya... ada inginku untuk penuhi keinginannnya....namun aku tak yakin akan mampu membuatnya bahagia dengan cara itu...
Aku sering menyesalinya ya Tuhan... menyesali mengapa kau berikan cionta untukku... mengapa kau pertemukan dia denganku....
Tuhan... apakah ini sebuah kebodohan, bila kutemukan cinta pada tempat yang tidak semestinya? Namun, bukankah cinta itu anugrah... anugrah yang kau berikan padaku? Aku limbung Tuhan... aku limbung... air mataku telah menutup segala pandanganku... gelap yang ada... pekat yang terlihat....
Kedua tanganku tertangkup di wajah, hindarkan cucuran yang lebih banyak... sayang itu tak mampu buat meredakannya. aku tak mampu menahankannya Tuhan.... tangisku pecah...air mataku mengalir tanpa henti.. aku tak mampu menghentikannya Tuhan... aku tak mampu... kepedihan itu terlalu berat buat kutanggungkan...
Ingin kusandarkan kepalaku dalam pelukannya... ingin kutumpahkan tangisku di dadanya... aku ingin dia juga merasakan kepedihan yang kini kurasakan...


Tuhan, masih pantaskah aku buat mengharapkannya kembali? Karena aku selalu merasa... aku tak mampu berbuat banyak untuknya. Aku hanya memiliki sebelah tangan untuknya. Aku hanya bisa memberikan secuil hatiku buatnya. Memberikan sedikit waktu diantara jam-jam sibukku. Memberinya sedikit kesempatan untuk dapat merenda cinta. Menyerahkan seluruh waktu di antara waktu-waktu sempitku untuknya. Memberikan seluruh perhatianku padanya.

Aku selalu meluangkan waktuku buat merawatnya di kala dia sakit. Menjadi tempatnya berkeluh kesah. Menjadi tempatnya bersandar di kala dia lelah. Menjadi tempatnya mencari pegangan di saat dia limbung. Menjadi tempatnya bertumpu di waktu dia ingin mencari tempat berpijak. Menjadi tumpuan amarah yang yang sempat dia lampiaskan. Menjadi ibu yang harus menyusuinya saat-saat dia butuh ketenangan. Walau semua itu tak bisa kulakukan dengan sempurna. Tuhan, masih kurangkah ekspresi cinta yang kuberikan? Walau dengan yang sebagian itu aku berusaha untuk memberikan segalanya. Sejauh aku mampu. Tuhan, sungguh aku amat mencintainya.

Aku adalah ibu baginya, Tuhan. Yang senantiasa setia membimbingnya. Aku adalah istri baginya, yang senantiasa setia mendampingi. Aku adalah kekasih yang selalu menjadi tempat untuk meluapkan gelora asmaranya. Aku adalah teman untuk bergandeng tangan mencapai cita. Dia selalu mengatakan bahwa aku adalah pemompa semangatnya, penggerak denyut jantungnya. Pewujud segala inspirasi dalam dirinya.

Sayang, Tuhan. Saat ini aku masih menyimpan sebuah kata. Kata yang senantiasa membuatku tertelikung. Kata itu bernama MARAH. Aku ingin mengungkapkan semuanya Tuhan. Mengungkapkan dengan caraku, bahwa aku marah. Marah ya Tuhan. Marah padanya. Bolehkah aku marah Tuhan? Bila itu akan membuatku terpuaskan? Dengan cara apa aku harus marah. Ketika kucari dalam kamus, tak pernah kudapatkan cara melampiaskan marah. Ingin aku berteriak sepuasnya ungkapkan marahku. Ingin aku menggebrak semua yang ada dihadapanku. Tuhan… apakah itu semua bisa mengurangi bebanku? Bisa menghilangkan marahku? Bisa membuatku lega? Tuhan… ajari aku untuk meluapkan rasa marahku. Agar tak mengganggu dan menelikungku. Tuhan… beri aku kesempatan. Beri aku kesempatan untuk tuntaskan semuanya. Semuanya…. Ya Tuhan. Semuanya… aku ingin melepaskan semua beban ini. Tapi Tuhan… aku masih sangat mencintainya… sangat mencintainya…

Tuhan. Tanganku tak terkendali. Aku tak bisa lagi mengendalikannya Tuhan. Dia bergerak sendiri. Tak mau lagi menerima perintahku. Dia bergerak sendiri, mencari sasaran. Aku diseretnya Tuhan. Kakiku terseok mengikuti gerakannya. Menyeretku pada sebuah tempat. Digulingkannya aku. Dan kedua tanganku Tuhan, dengan lembut meraba-raba leher, mengelus-elus, bulu kudukku berdiri Tuhan. Usapannya tak berhenti di situ, jari jemari itu menari-nari di sekeliling leherku, aku geli, aku ingin meronta untuk melepaskannya. Tapi aku tak mampu Tuhan. Dia dengan seenaknya saja menjelajahi seluruh penyangga kepalaku, tanpa mau tahu apa yang kurasakan. Betapa aku dilanda sebuah sensasi tersendiri. Kupejamkan mataku. Aku ingin menikmati segalanya. Menikmati dengan segenap rasa. Darahku mengalir lebih cepat, dadaku berdesir, ada nyeri yang terkuak. Aku merasakan hawa hangat yang nikmat. Membuai…. Upss… hiks…. Tuhan, tolong… jari jemari itu mencekikku…. Sakit, aku tak bisa bernafas. Tuhan dengan apa aku harus mengenhentikan gerakannya? Tuhan…. Tolong… tolong aku Tuhan…. Toloooongggg ….

YK agust 2010

Menikahlah Denganku


Apa yang akan kau lakukan bila tiba-tiba kita dinikahi oleh seseorang tanpa kita tahu siapa sebenarnya dia? Apa yang akan kita lakukan bila secara tiba-tiba kita dinikahi tanpa penghulu tapi semua ungkapan nikah telah terucapkan? Tentu kita akan kaget, shok, marah, menyesal atau hal yang idak enak yang lainnya. Atau bahkan kita akan menganggapnya angin lalu dan berpikir tak terjadi sesuatu?
Semua berawal dari sebuah ketidaksengajaan. Tapi siapa sangka, kalau di kemudian hari akan menimbulkan kerumitan semacam ini. Sebuah pernikahan yang cukup rumit. Pernikahan yang menciptakan ketidaknyamanan. Sebuah pernikahan seharusnya menjadi sebuah prosesi yang ditunggu-tunggu dan diharap-harap oleh sepasang calon pengantin. Akan menghadirkan kenangan manis yang tak pernah terlupakan. Sedangkan pernikahan ini terjadi bukan karena kehendak dua pihak. Namun pernikahan ini adalah pernikahan sepihak. Tak pernah terlintas sedikitpun bila dia akan dengan tenangnya menikahiku dengan cara seperti itu. Tentu saja tanpa persetujuanku sebagai salah satu pengantinnya. Jangankan prsetujuan, sekedar pembaritahuan kalau hendak menikah pun tidak. Tiba-tiba saja aku dihadapkan pada sebuah pesan singkat yang isinya seperti ini.
“SAYA TERIMA NIKAHNYA ANTARA MAMI DENGAN SAYA NEDI DENGAN MAS KAWIN SEPERANGKAT ALAT SHOLAT DIBAYAR TUNAI…. SAH…. SAH…. Gimana Mi… ijab qobul sudah dilaksanakan….. kita sudah sah jadi suami istri….”
Itu kata-katanya waktu itu, ketika permintaannya adalah hak mereka yang sudah menikah. Dan kata-kata bahwa kami sudah menikah selalu saja diulanginya untuk mencairkan suasana. Dalam setiap kesempatan di kala kami sedang dalam ketegangan maka ungkapan bahwa kami sudah suami istri selalu saja diulanginya. Sungguh sebenarnya aku merasa bangga dan bahagia, walau hanya bisa kupendam dalam hati. Betapa tidak? Setiap gadis selalu menanti untuk disunting, aku sudah disunting walau dengan cara yang tidak wajar. Hampir setiap saat aku selalu menanti sapaannya. Tiap kali hanya menunggu dan menunggu adakah kabar akan datang darinya. Tiap kali hanya hati yang berdebar-debar, terombang-ambing antara menanti dan menolak.
Juga saat ini ketika ketegangan itu muncul hanya karena masalah sepele. Dia menelpon saat aku mandi. Kutelpon balik, kami cerita baik-baik.
“Aku kangen ma kamu lho Mi….” katanya ketika itu.
Lalu kami berbincang beberapa menit via telepon. Waktu sudah menunjuk jam 06.30. Ketika aku mau berangkat ke kantor. Baik-baik aku pamit.
“Jah, aku berangkat dulu ya…. Takut telat….”
“Ati-ati ya Mi…. kerja yang bener jangan selingkuh….he….he….he….”
Aku menjawab dengan ringan dan riang.
“Lho kamu kan selingkuhanku, ha….ha….ha….”
“Mi…. Mami…. Menikah ja blom pernah kok selingkuh….ha….ha….ha….123”
“Apa maksudmu dengan 123?? Klo gak ada penjelasan jangan harap balasan smsmu….”
“Dah lah masalah itu gak usah dibahas lagi…. Mendingan bahas tentang cinta & impian saja…. Yang masih membentang luas di hadapan kita….”
Perasaanku marah sekali saat itu, mengapa dia dengan enaknya mencoba mengalihkan bahan omongan? Mencoba mengalihkan perhatianku. Hatiku jadi panas, jantungku berdebar lebih kencang. Jadi pusing, apa yang harus kukatakan agar dia mau memberi penjelasan tentang angka-angka itu. Telah tiga kali dia sampaikan sms dengan tiga angka 123 dibelakangnya. Awal ketika kutanyakan pada mas Dani dia bilang,
“Gak usah dibalas, biarkan saja,” dengan pandang mata penuh selidik.
Bagaimana rasaku tidak kesal? Kalau mengingat angka-angka itu. Rasa marahku sudah sampai keubun-ubun, pasti hal yang nggak enak atau bahkan pelecehan. Aku bukan orang yang suka dilecehkan, apalagi oleh orang yang belum akrab benar.
“Aku memang bodoh banget , kuper, nggak gaul…. 123 dah 3X kamu kirimkan dalam smsmu ke aku. Kalau memang nggak ada penjelasan berarti tu pasti pelecehan…. Sudah lah nggak usah sms aku lagi!!!!” kataku dengan penuh amarah.
Aku memang merasa tak perlu lagi berhubungan dengannya, walaupun hati ini jadi gundah gulana. Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk menentramkan hati ini. Beberapa kali kupegang hp, kulirik, berdebar-debar hati ini menanti jawaban. Sambil menunggu kucoba lihat nomor hpnya, kuteliti. Kenapa nomornya selalu muatan angka 123, apakah karena dia lahir pada tanggal 12 bulan 3? Ah nggak lah dia kan lahir bulan 10 tgl 17. aku tahu itu, dia pernah mengatakannya. Apakah rahasia dibalik angka 123?
“123 itu maksudku no sandiku lho Mi…. no XL ku kan 0123 to….”
Dia jawab dengan sareh . Tapi aku terlanjur gengsi untuk segera menanggapi kata-katanya. Beberapa waktu kutentramkan hati sambil menunggu sms berikutnya. Mengharapkan penjelasan yang lebih rinci, bahkan aku ingin membuat dia merajuk. Ada sedikit rasa bangga bila dia mulai lagi merayuku dengan puisi-puisi cinta yang lembut, mesra dan penuh perasaan. Aku tersenyum mengingat apa yang mungkin akan dilakukannya untukku. Ada rasa gundah juga sih bila jawabannya tak sesuai yang kuharapkan. Tapi apaboleh buat semua harus dihadapi.
“Mungkin Mami gak kan pernah maafin aku…. Hanya kesalahpahaman kecil itu…. Tapi demi Alloh dan demi Rasululloh…. Gak da sedikitpun dalam benakku untuk melecehkan Mami…. Ingat itu Mi….”
Duh... ternyata galak sekali kata-katanya. Tak pernah kupikirkan kalau kata-kataku tadi akan membuatnya terluka. Akan membuatnya kembali menjadi orang yang keras dan kasar. Padahal aku tak mau dia kembali menjadi dia yang kasar dan keras. Terbersit rasa takut bila dia tak akan memberiku perhatian lagi. Akan melupakan aku. Hati dan rasaku kembali diusik rasa gundah dan resah. Takut kehilangan dia, tentu itulah yang paling utama. Walaupun pertemanan ini belum terjalin lama, tapi aku merasa sudah berbilang bulan atau mungkin bahkan berbilang tahun. Rasa takut kehilangan membuatku jadi limbung. Akhirnya runtuhlah gengsiku. Kucoba telepon padanya beberapa kali, nada sambung masuk tapi tak pernah diangkat. Aku tak tahu apa yang dia lakukan, yang terbersit dalam pikiranku adalah dia tidak mau menerima teleponku.
“Maafkan aku…. Sebegitu marahkah…. Sampai kau tak mau terima teleponku…. Kuakui akhir-akhir ini aku jadi mudah emosi…. Mungkin aku terlalu kekanak-kanakan ya? Tapi hatiku jadi resah sekali….”
Kutunggu beberapa saat, tak ada respon darinya. Gelisahku makin memuncak, rinduku semakin membuncah. Apa gerangan yang akan terjadi, marah sekalikah dia akan kata-kataku tadi? Apa yang harus kuperbuat utuk meluluhkan hatinya. Kenapa jadi makin meruncing pertikaian ini? Kemanakah dia? Apakah dia sudah benar-benar tidak mau menerima diriku lagi?
“Wahai…. dimanakah dikau…. Susah kumencarimu…. Resahkan hatiku…. Bingungkan pikiranku…. Hai…. Dimanakah engkau hendak kugapai….”
Pupus sudah harapanku untuk dapat menemuinya kembali, walau hanya dalam illusi. Kucoba untuk menerma dengan lega hati. Aku ingat kata-kata Ustad Al Hasby tadi pagi di televise “CINTAILAH SESEORANG DENGAN SEKEDARNYA SIAPA TAHU ESOK HARI DIA ADALAH ORANG YANG PALING KAU BENCI DAN BENCILAH SESEORANG ITU SEKEDARNYA SIAPA TAHU ESOK HARI DIA ADALAH ORANG YANG PALING KAUCINTAI.” Dengan kata-kata ini aku menjadi lebih lega. Hati ini jadi nyesssssssss hilang seluruh beban yang ada. Ketika tiba tiba ada sms masuk.
“Aku cuma heran koq tega-teganya Mami ngomong seperti itu ke aku….”
Sebuah kelegaan hadir walau hanya sebagian kegundahan ini yang hilang. Tapi beban yang terasa jadi makin ringan. Tak lagi menyesakkan dada. Karena aku percaya, walau tidak seluruh beban ini terangkat, paling tidak sudah ada rambu-rambu bahwa damai itu kan terjadi.
“Mi… kita tuh dah menikah lho Mi ….he….he….he….he….?!”
Akhirnya kata-kata itu lagi yang hadir diantara kami. Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu menggubrisnya. Tapi di lubuk hati yang paling dalam, ada sensasi tersendiri. Ya kami sudah menikah, tanpa kadi, tanpa saksi, tanpa ciuman, tanpa pelukan, tanpa jabat tangan, karena semua hanya ada dalam illusi, lewat dunia maya. Ya aku sudah menikah, aku sudah jadi istri, istri dalam dunia maya.

Soga Nopember 2008
Teriring salam buat kakanda

Rabu, 18 Agustus 2010

Mas San

Suara pintu dibuka dengan keras cukup membuatku kaget. Yach.... siapa lagi kalau bukan Mas San. Hanya aku dan dia penghuni rumah ini. Rumah dinas dengan tiga kamar kecil-kecil plus satu kamar istimewa sebagai ruang tamu.
Itulah salah satu kebiasaan barunya bila hati sedang gusar selalu ada-ada saja yang jadi sasaran. Segala tindakannya akan jadi keras, dari membuka pintu, menyimpan sepatu, meletakkan tas buku-buku kerjanya, orang berjalan di depan rumahpun akan tahu apa yang sedang dilakukannya. Kecuali orang yang tuli tentunya... ha.. ha.. Seperti apa suara sepatu disorongkan keras-keras? Atau suara tas penuh buku yang dilempar begitu saja ke kursi tamu?
Kita-kita ini sebenarnya memang manusia-manusia yang aneh. Seperti kalau kita makan kacang, selalu yang tua dan berisi yang kita ambil lebih dulu, baru nanti yang muda dan kempot-kempot itu dapat giliran belakangan. Kita perlu variasi dalam hidup agar tidak monoton. Kadang kita makan yang manis tapi tak jarang kita ingin makan yang pahit dan terasa tak enak, tapi kita tetap bisa menikmatinya. Betul begitu kan? Kenapa kita ingin minum jamu yang pahit rasanya, padahal di hadapan kita dihidangkan madu yang lezat?
Inilah yang kualami sekarang, variasi hidup, lelah bercumbu lalu tanpa tahu sebabnya telah datang masalah baru. Perlahan-lahan aku bangkit dari tiduran, menyongsong Mas San yang pulang dengan nada gusar (kelihatannya sih..!) kusunggingkan senyum manis untuknya, walau aku agak terpaksa melakukannya. Dengan tingkahnya yang demikian itu telah membangkitkan pening dan mual yang berlebihan bagiku.
”Sudah pulang Mas?” tanyaku, lalu tanpa malu-malu (karena dalam ruangan hanya ada aku dan dia ) kudaratkan ciuman di pipinya, (aku sebenarnya marah juga karena Mas San tak menjawab pertanyaanku).
”Lelah...?” lanjutku.
Kubantu dia membuka kancing kemejanya dan menggantinya dengan kaus rumah yang nyaman. Masih juga Mas San tak bereaksi, sementara wajahnya tampak gusar. Kugandeng dia ke meja makan. Nasi yang sudah kusiapkan sejak tadi sudah dingin layaknya, perutku sendiri mestinya minta segera diisi. Namun untuk mendahului makan rasanya tak pantas. (Aku ingin disebut istri yang baik lho.)
“Rokokku...!” baru Mas San mau buka suara, itupun sudah melegakan hatiku.
“Nggak makan dulu...?” tanyaku sambil menyorongkan rokok.
Mas San tak menyahut, dia langsung mengambil sebatang dan menyulutnya. Eeee... apa aku ini dianggap robot yang tak perlu didengar kata-katanya sehingga setiap kata-kataku tak butuh jawaban? Diam, membisu. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Tak ada kata yang terlontar, lalu masing-masing merenungi diri. Dan rasa lapar yang kutahan sejak tadipun sirna begitu saja. Tak ada lagi gairah. Lalu pening dan mual itupun tak tertahankan lagi. Rokok di tangan Mas San hanya tinggal setengah.
”Makan Mas...?” kembali aku menawarinya makan.
Mas San mengangguk. Aku membuka piring yang ada di hadapannya, kusendok nasi dan lauk kesukaannya, kusorongkan padanya.
”Kau...?” tanyanya padaku.
Hilang sudah seleraku, kataku dalam hati. Namun yang kuhadirkan adalah sebuah senyum sambil memandanginya.
”Mas sajalah...!” kataku.
”Nanti kau tambah lemah lagi, makan ya... temani aku ?”
Ditelitinya wajahku lekat-lekat, aku menunduk tak berani melawan pandangannya yang tajam.
”Aku mual sekali...!” sahutku.
”Pening...?” wajahnya menunjukkan kecemasan.
Aku hanya mengangguk, karena tiba-tiba jadi lemah sekali. Mataku berkunang-kunang, aku memejamkan mata. Tiba-tiba kurasa Mas San sudah mengangkatku.
”Kau jadi tambah lemah saja Yang, nanti kita ke dokter ya?” katanya meminta.
Ditidurkannya aku baik-baik, diselimuti lalu dia ikut tiduran di sampingku sambil memijit-mijit tubuhku.
”Makanmu Mas...” aku ingat makanan yang dia tinggalkan.
”Aku tak begitu lapar koq. Sudah sejak tadi peningnya...?”
”Nggak. Tiba-tiba saja pening lagi.”
”Kau tak mau makan sih... , jadi.... atau kau mau makan apa ?”
”Tak ada seleraku.” aku memang kehilangan selera makan.
”Masih lelah Mas ?”
”Tidak. Aku segar bugar. Ada apa Yang...?”
”Sungguh...?” tanyaku meyakinkan.
”Ya..., kenapa... ingin sesuatu...?” tanyanya sambil melempar senyum penuh arti.
”Nggak ah. Capek. Ada problem baru Mas?”
”Problem apa?” suaranya penuh tanda tanya.
”Ah... aku hanya mengira-ira saja. Tadi Mas pulang dengan nada gusar, aku jadi kaget.” kataku berterus terang.
”Oh... maafkan aku Yang. Sudahlah jangan terlalu banyak dipikir, atau itu yang membuatmu mual...?” nada suaranya penuh sesal.
”Mungkin... atau ini merupakan hal yang aneh...?”
”Aku tak tahu hal itu. Atau mungkin dia Yang, yang marah tahu bapaknya gusar?” kata Mas San sambil mengelus perutku yang semakin membuncit.
Ah... mestikah aku marah pada laki-laki yang demikian baik, penuh perhatian dan sayang. Walau kadang tak bisa kumengerti maksud tindakannya. Atau memang akukah yang terlalu banyak menuntut? Dalam pelukannya, aku merasa aman, damai dan tenang, kemudian akan lekas terlena. Tapi bila dia mulai dengan sikapnya yang kasar dan temperamental kadang aku menyesalinya. Bingung apa yang harus kulakukan untuk dapat melunakkan hatinya yang demikian keras. Di satu sisi dia baik, lembut, romantis namun di sisi yang lain dia bisa tunjukkan kekerasan hatinya yang seperi baja. Tanpa basa-basi, tanpa penawaran. Bila sudah muka seram yang dia tunjukkan maka dia akan dapat menunjukkannya dalam beberapa hari tanpa aku tahu bagaimana harus membuatnya tertawa kembali. Dia memang jarang mengeluh dia selalu berusaha apa yang menjadi masalahnya akan ditanggungkannya sendiri tanpa melibatkan diriku. Dengan alasan bahwa dia tak ingin membebaniku dengan masalahnya.
Suara adzan Ashar membangunkanku dari tidur siang yang nyaman. Kulihat ke samping, Mas San masih nyenyak tidur memeluk guling kesayangannya. Ada hal yang tak biasa yang kulihat dalam gurat wajahnya, seperti menyimpan beban yang teramat berat. Wajahnya gundah menyimpan masalah, kelihatannya letih sekali. Ada secercah rasa ibu bila melihatnya dalam keadaan demikian. Namun aku sendiri tak tahu apa yang harus kulakukan. Sebab biasanya Mas San akan marah bila aku menyinggungnya sedikit saja. Kurenungi wajah Mas San yang sendu. Ada hasrat ingin memeluknya namun kuurungkan, aku tak ingin mengusik tidurnya, hanya dengan punggung tangan kuusap keringat yang meleleh di pipinya. Sekali, dua kali, tak ada reaksi, kutempelkan saja saja jemariku di pipinya, sambil kucoba kembali pejamkan mata menuruti rasa malasku. Belum lagi aku terlena jemariku dipegang dan dikecupnya, aku agak kaget mengetahui dia sudah bangun.
”Ada apa Yang..., tidur sajalah... biar aku yang siapkan makan malam kalau kau masih malas... heeemmm...?” katanya sambil mengusap-usap rambutku, sementara mataku masih tetap terpejam.
Kugeser tubuhku agar makin dekat dengannya, agar aku bisa memeluknya, tanpa menjawap perkataannya sepatahpun. Kuselusupkan kepalaku ke dadanya, mendengar degub jantungnya timbulkan rasa tenang.
”Masih terasa pening dan mualnya...?” kembali dia mengusikku dengan pertanyaannya. Aku hanya menggelengkan kepala.
Lalu hening. Tak seorangpun diantara kami yang mengeluarkan suara.kurasakan detak jantung Mas San yang keras berirama. Kembali ingatanku pada kegelisahannya sehari ini. Berbagai tanya hadir dalam hati, ada apa gerangan? Hal yang pentingkah yang membuatnya berlaku seperti ini? Atau karena aku tak sempat membukakan ini untuknya ketika dia datang? Bila demikian mengapa dia bersikap sebaik ini padaku? Padahal biasanya bila dia marah maka dia bisa bertahan sampai beberapa hari untuk puasa bicara dan aku akan menanti sampai dia ingin membuka kembali komunikasi antara kami.
Soga Des 2004