Senin, 27 September 2010

Menikahlah Denganku


Apa yang akan kau lakukan bila tiba-tiba kita dinikahi oleh seseorang tanpa kita tahu siapa sebenarnya dia? Apa yang akan kita lakukan bila secara tiba-tiba kita dinikahi tanpa penghulu tapi semua ungkapan nikah telah terucapkan? Tentu kita akan kaget, shok, marah, menyesal atau hal yang idak enak yang lainnya. Atau bahkan kita akan menganggapnya angin lalu dan berpikir tak terjadi sesuatu?
Semua berawal dari sebuah ketidaksengajaan. Tapi siapa sangka, kalau di kemudian hari akan menimbulkan kerumitan semacam ini. Sebuah pernikahan yang cukup rumit. Pernikahan yang menciptakan ketidaknyamanan. Sebuah pernikahan seharusnya menjadi sebuah prosesi yang ditunggu-tunggu dan diharap-harap oleh sepasang calon pengantin. Akan menghadirkan kenangan manis yang tak pernah terlupakan. Sedangkan pernikahan ini terjadi bukan karena kehendak dua pihak. Namun pernikahan ini adalah pernikahan sepihak. Tak pernah terlintas sedikitpun bila dia akan dengan tenangnya menikahiku dengan cara seperti itu. Tentu saja tanpa persetujuanku sebagai salah satu pengantinnya. Jangankan prsetujuan, sekedar pembaritahuan kalau hendak menikah pun tidak. Tiba-tiba saja aku dihadapkan pada sebuah pesan singkat yang isinya seperti ini.
“SAYA TERIMA NIKAHNYA ANTARA MAMI DENGAN SAYA NEDI DENGAN MAS KAWIN SEPERANGKAT ALAT SHOLAT DIBAYAR TUNAI…. SAH…. SAH…. Gimana Mi… ijab qobul sudah dilaksanakan….. kita sudah sah jadi suami istri….”
Itu kata-katanya waktu itu, ketika permintaannya adalah hak mereka yang sudah menikah. Dan kata-kata bahwa kami sudah menikah selalu saja diulanginya untuk mencairkan suasana. Dalam setiap kesempatan di kala kami sedang dalam ketegangan maka ungkapan bahwa kami sudah suami istri selalu saja diulanginya. Sungguh sebenarnya aku merasa bangga dan bahagia, walau hanya bisa kupendam dalam hati. Betapa tidak? Setiap gadis selalu menanti untuk disunting, aku sudah disunting walau dengan cara yang tidak wajar. Hampir setiap saat aku selalu menanti sapaannya. Tiap kali hanya menunggu dan menunggu adakah kabar akan datang darinya. Tiap kali hanya hati yang berdebar-debar, terombang-ambing antara menanti dan menolak.
Juga saat ini ketika ketegangan itu muncul hanya karena masalah sepele. Dia menelpon saat aku mandi. Kutelpon balik, kami cerita baik-baik.
“Aku kangen ma kamu lho Mi….” katanya ketika itu.
Lalu kami berbincang beberapa menit via telepon. Waktu sudah menunjuk jam 06.30. Ketika aku mau berangkat ke kantor. Baik-baik aku pamit.
“Jah, aku berangkat dulu ya…. Takut telat….”
“Ati-ati ya Mi…. kerja yang bener jangan selingkuh….he….he….he….”
Aku menjawab dengan ringan dan riang.
“Lho kamu kan selingkuhanku, ha….ha….ha….”
“Mi…. Mami…. Menikah ja blom pernah kok selingkuh….ha….ha….ha….123”
“Apa maksudmu dengan 123?? Klo gak ada penjelasan jangan harap balasan smsmu….”
“Dah lah masalah itu gak usah dibahas lagi…. Mendingan bahas tentang cinta & impian saja…. Yang masih membentang luas di hadapan kita….”
Perasaanku marah sekali saat itu, mengapa dia dengan enaknya mencoba mengalihkan bahan omongan? Mencoba mengalihkan perhatianku. Hatiku jadi panas, jantungku berdebar lebih kencang. Jadi pusing, apa yang harus kukatakan agar dia mau memberi penjelasan tentang angka-angka itu. Telah tiga kali dia sampaikan sms dengan tiga angka 123 dibelakangnya. Awal ketika kutanyakan pada mas Dani dia bilang,
“Gak usah dibalas, biarkan saja,” dengan pandang mata penuh selidik.
Bagaimana rasaku tidak kesal? Kalau mengingat angka-angka itu. Rasa marahku sudah sampai keubun-ubun, pasti hal yang nggak enak atau bahkan pelecehan. Aku bukan orang yang suka dilecehkan, apalagi oleh orang yang belum akrab benar.
“Aku memang bodoh banget , kuper, nggak gaul…. 123 dah 3X kamu kirimkan dalam smsmu ke aku. Kalau memang nggak ada penjelasan berarti tu pasti pelecehan…. Sudah lah nggak usah sms aku lagi!!!!” kataku dengan penuh amarah.
Aku memang merasa tak perlu lagi berhubungan dengannya, walaupun hati ini jadi gundah gulana. Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk menentramkan hati ini. Beberapa kali kupegang hp, kulirik, berdebar-debar hati ini menanti jawaban. Sambil menunggu kucoba lihat nomor hpnya, kuteliti. Kenapa nomornya selalu muatan angka 123, apakah karena dia lahir pada tanggal 12 bulan 3? Ah nggak lah dia kan lahir bulan 10 tgl 17. aku tahu itu, dia pernah mengatakannya. Apakah rahasia dibalik angka 123?
“123 itu maksudku no sandiku lho Mi…. no XL ku kan 0123 to….”
Dia jawab dengan sareh . Tapi aku terlanjur gengsi untuk segera menanggapi kata-katanya. Beberapa waktu kutentramkan hati sambil menunggu sms berikutnya. Mengharapkan penjelasan yang lebih rinci, bahkan aku ingin membuat dia merajuk. Ada sedikit rasa bangga bila dia mulai lagi merayuku dengan puisi-puisi cinta yang lembut, mesra dan penuh perasaan. Aku tersenyum mengingat apa yang mungkin akan dilakukannya untukku. Ada rasa gundah juga sih bila jawabannya tak sesuai yang kuharapkan. Tapi apaboleh buat semua harus dihadapi.
“Mungkin Mami gak kan pernah maafin aku…. Hanya kesalahpahaman kecil itu…. Tapi demi Alloh dan demi Rasululloh…. Gak da sedikitpun dalam benakku untuk melecehkan Mami…. Ingat itu Mi….”
Duh... ternyata galak sekali kata-katanya. Tak pernah kupikirkan kalau kata-kataku tadi akan membuatnya terluka. Akan membuatnya kembali menjadi orang yang keras dan kasar. Padahal aku tak mau dia kembali menjadi dia yang kasar dan keras. Terbersit rasa takut bila dia tak akan memberiku perhatian lagi. Akan melupakan aku. Hati dan rasaku kembali diusik rasa gundah dan resah. Takut kehilangan dia, tentu itulah yang paling utama. Walaupun pertemanan ini belum terjalin lama, tapi aku merasa sudah berbilang bulan atau mungkin bahkan berbilang tahun. Rasa takut kehilangan membuatku jadi limbung. Akhirnya runtuhlah gengsiku. Kucoba telepon padanya beberapa kali, nada sambung masuk tapi tak pernah diangkat. Aku tak tahu apa yang dia lakukan, yang terbersit dalam pikiranku adalah dia tidak mau menerima teleponku.
“Maafkan aku…. Sebegitu marahkah…. Sampai kau tak mau terima teleponku…. Kuakui akhir-akhir ini aku jadi mudah emosi…. Mungkin aku terlalu kekanak-kanakan ya? Tapi hatiku jadi resah sekali….”
Kutunggu beberapa saat, tak ada respon darinya. Gelisahku makin memuncak, rinduku semakin membuncah. Apa gerangan yang akan terjadi, marah sekalikah dia akan kata-kataku tadi? Apa yang harus kuperbuat utuk meluluhkan hatinya. Kenapa jadi makin meruncing pertikaian ini? Kemanakah dia? Apakah dia sudah benar-benar tidak mau menerima diriku lagi?
“Wahai…. dimanakah dikau…. Susah kumencarimu…. Resahkan hatiku…. Bingungkan pikiranku…. Hai…. Dimanakah engkau hendak kugapai….”
Pupus sudah harapanku untuk dapat menemuinya kembali, walau hanya dalam illusi. Kucoba untuk menerma dengan lega hati. Aku ingat kata-kata Ustad Al Hasby tadi pagi di televise “CINTAILAH SESEORANG DENGAN SEKEDARNYA SIAPA TAHU ESOK HARI DIA ADALAH ORANG YANG PALING KAU BENCI DAN BENCILAH SESEORANG ITU SEKEDARNYA SIAPA TAHU ESOK HARI DIA ADALAH ORANG YANG PALING KAUCINTAI.” Dengan kata-kata ini aku menjadi lebih lega. Hati ini jadi nyesssssssss hilang seluruh beban yang ada. Ketika tiba tiba ada sms masuk.
“Aku cuma heran koq tega-teganya Mami ngomong seperti itu ke aku….”
Sebuah kelegaan hadir walau hanya sebagian kegundahan ini yang hilang. Tapi beban yang terasa jadi makin ringan. Tak lagi menyesakkan dada. Karena aku percaya, walau tidak seluruh beban ini terangkat, paling tidak sudah ada rambu-rambu bahwa damai itu kan terjadi.
“Mi… kita tuh dah menikah lho Mi ….he….he….he….he….?!”
Akhirnya kata-kata itu lagi yang hadir diantara kami. Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu menggubrisnya. Tapi di lubuk hati yang paling dalam, ada sensasi tersendiri. Ya kami sudah menikah, tanpa kadi, tanpa saksi, tanpa ciuman, tanpa pelukan, tanpa jabat tangan, karena semua hanya ada dalam illusi, lewat dunia maya. Ya aku sudah menikah, aku sudah jadi istri, istri dalam dunia maya.

Soga Nopember 2008
Teriring salam buat kakanda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar